Senin, 12 Maret 2012

Belajar Sejarah di Menteng

Minggu, 19 Februari 2012. Kali pertama saya jalan-jalan bersama Komunitas Historia Indonesia (KHI / @IndoHistoria). Minggu ini KHI mengadakan acaranya di sekitaran menteng yang ternyata adalah kota taman pertama di Indonesia pada jaman dahulunya (baru tau kaaannn,,hehe). Dengan langit gelap gerimis mengundang perut laper, saya dan teman tetap maju tak gentar untuk bangun pagi dan melacur ke meeting point sekaligus pemberhentian pertama tur hari itu. Tujuan cuma satu, kami rindu akan cerita sejarah #eaa.

Langsung cerita tentang tempat pertama, Museum Joang 45 / Gedung Joang 45 di jalan Menteng 31. Gedung ini dibangun tahun 1920an. Pada jaman penjajahan Belanda, gedung ini dikenal sebagai Hotel Schomper, hotel yang dikelola oleh keluarga L.C Schomper, seorang Belanda yang tinggal lama di Batavia. Pada tahun 1942, saat Jepang menguasai Batavia, Hotel Schomper diambil alih oleh para pemuda Indonesia. Hotel Schomper lalu dijadikan kantor yang dikelola oleh Ganseikanbu Sendenbu (artinya apa saya lupa hehe). Di kantor inilah para pemuda Indonesia diberikan pendidikan politik yang dibiayai oleh pemerintah Jepang pada masa itu. Kesempatan ini tidak lupa dimanfaatkan oleh para pemuda Indonesia untuk membentuk pejuang-pejuang muda. Tokoh yang tergabung atau menjadi pengajar pada masa itu adalah Soekarno (mengajarkan politik), Hatta (mengajarkan ekonomi), Chairul Saleh, Sukarni dan lain-lain. Bukti-bukti perjuangan para pejuang kita terlihat dari beragam koleksi yang dimiliki museum ini. 
Seperti foto-foto berikut (kiri ke kanan) foto Satu, Sukarni Kartodiwirjo (salah satu tokoh pejuang muda yang menjadi pemimpin Asrama Pemuda Menteng 31 pada tahun 1943), mobil RI 1 (masih keren dan mulus, Gan! Boleh nego jangan afgan #eh), gambaran peristiwa setelah proklamasi.






Foto Dua, gambaran bagaimana kejinya jepang menindas rakyat saat itu, replika tandu Jenderal Soedirman yang tetap memimpin perang meski sedang sakit, kursi santai Moh. Hatta, koran jaman dulu (isinya kira2 orasi persiapan kemerdekaan dan kegiatan Soekarno dkk), sisanya foto narsis.










Jalan – jalan lanjut ke sebuah mesjid yg letaknya di Jalan Cut Meutia dan dinamakan Masjid Cut Meutia. Aslinya adalah bangunan zaman belanda yang dibeli untuk dijadikan masjid.
Awalnya bangunan yang didirikan tahun 1912 ini bernama gedung Boplo yang merupakan kantor pengembang kawasan perumahan Menteng. Menurut cerita, dulunya kawasan Menteng adalah kawasan perumahan pertama di Jakarta yang dirancang serba komplit dengan segala fasilitas seperti sekolah dan tempat ibadah. Gedung Boplo berubah fungsi setelah perusahaan tersebut bangkrut. Setelah berganti-ganti menjadi fungsi dari berbagai instansi di berbagai zaman, akhirnya sejak 1985 gedung ini pun dialihfungsikan sebagai Masjid Cut Meutia Gondangdia. Ada sedikit yang berubah dari bangunan ini sejak difungsikan sebagai masjid, salah satunya ada bagian tangga yang dipotong dengan tujuan dapat menampung banyak jama’ah dan untuk menyesuaikan dengan arah kiblat, shaf menjadi miring sekitar 45 derajat.


Tujuan ketiga adalah Bistro Boulevard yang sempat menjadi tempat nongkrong sosialita Jakarta yang bernama Buddha Bar. Ternyata dulunya bangunan ini merupakan bangunan peninggalan zaman Belanda yang dibangun tahun 1913 dan diresmikan tahun 1914. Terakhir digunakan pada zaman dulu, gedung ini diperuntukan sebagai Kantor Ditjen Imigrasi sebelum sempat terlantar beberapa waktu lamanya. Dan kini setelah diambil alih oleh Pemda DKI, gedung ini pun disewakan kepada mereka yang ingin menggunakannya (ceritanya panjang sebenernya tapi gak enak karena bawa2 nama anak petinggi di Jakarta ini, hehe)
 


Selanjutnya, ke museum Jenderal Besar A.H Nasution yang terletak di jalan Teuku Umar No. 40, Jakarta Pusat.  Museum ini terbuka untuk umum dari hari Selasa hingga hari Minggu, dari pukul 08:00 hingga pukul 14:00 WIB. Museum ini semula adalah kediaman pribadi dari Pak Nasution (karena emang kediaman jadi museum ini bentuknya persis kaya rumah, ada kamar tidur, kamar mandi sampai garasi). Rumah beliau ini dulu ditempati bersama dengan keluarganya sejak menjabat sebagai KSAD tahun 1949 hingga wafatnya pada tanggal 6 September 2000. Selanjutnya keluarga Nasution pindah rumah pada tanggal 29 Juli, 2008 sejak dimulainya renovasi rumah pribadi tersebut menjadi museum.
Di kediaman Jenderal Besar yang bernama lengkap DR. Abdul Haris Nasution ini telah terjadi peristiwa dramatis yang hampir merenggut nyawa Jenderal Besar DR. Abdul Haris Nasution pada tanggal  1 Oktober 1965 . Pasukan Tjakrabirawa G-30S/PKI berupaya menculik dan membunuh beliau, namun hal ini gagal dilakukan. Dalam peristiwa tersebut, putri kedua beliau, Ade Irma Suryani Nasution dan ajudannya, Kapten Anumerta Pierre Andreas Tendean gugur. Dalam cerita, ajudannya yang berwajah sangat mirip dengan beliau ditangkap ketika hendak pulang (sedih loh pemirsahh, katanya Pak Pierre itu mau nikah keesokan harinya).

 

Pemberhentian keempat sekaligus terakhir, rumah penulis buku Historical Sites of Jakarta, A. Heukeun SJ. Beliau itu bisa dibilang saksi hidup perkembangan menteng yang dulu sangat termahsyur sebagai perumahan elit cyiiiin.... Dengan aksen belanda yang masih kental meski udah lama tinggal di Jakarta, beliau bercerita sambil dikerumuni teman-teman dari KHI, keren! Tapi sayang pemirsah saya gak sempat mengambil foto di rumah beliau dan harus pulang duluan, padahal masih ada 2 pemberhentian lagi.

 
Dan baiklah, sekian kisah kasih saya di hari minggu itu. Semoga besok – besok bisa ikut lagi sama rombongan Komunitas Historia Indonesia ini untuk berkeliling Jakarta lagi. Amiiinn.... Sungguh sejarah itu menarik *kemana aja saya waktu sekolah*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar